Tangan Jokowi di Partai Golkar

Agustus 12, 2024

 

Jokowi berambisi menguasai Partai Golkar. Cara baru tetap relevan dalam kekuasaan

Ambisi Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, untuk menguasai Partai Golkar mendorong Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum. Tindakan ini dapat dipandang sebagai respons yang mencerminkan kepanikan seorang Presiden yang berada di ambang kehilangan kekuasaan. Dengan dukungan dari Jokowi, Bahlil akan berkompetisi dengan sejumlah kandidat yang juga mencalonkan diri, antara lain Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Jika terpilih, Bahlil berkomitmen untuk memberikan posisi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar kepada Jokowi.

Pada masa Orde Baru, meskipun tidak pernah menjabat sebagai ketua umum, Presiden Soeharto merupakan sosok sentral dalam Partai Golkar. Ia merancang struktur partai tersebut sebagai bagian dari strategi untuk mengendalikan politik kepartaian pasca-Orde Lama. Sebagai ketua dewan pembina, Soeharto memiliki otoritas penuh dalam menetapkan kebijakan partai. Ketua umum dari dua partai lainnya—Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia—ditentukan berdasarkan persetujuan dari pemerintah.

Pada tahun 2004, ketika menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla juga terpilih sebagai pemimpin Partai Golkar. Pada masa itu, koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Partai Demokrat yang didirikan oleh Yudhoyono, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menguasai legislatif. Kalla bergabung dengan Golkar dengan tujuan untuk "mengamankan" kebijakan-kebijakan pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat.

Kalla telah menjadi kader Partai Golkar selama bertahun-tahun. Di sisi lain, Jokowi tidak memiliki latar belakang yang panjang di partai ini. Oleh karena itu, upayanya untuk menguasai Golkar menjelang akhir masa jabatannya dilakukan semata-mata agar ia tetap diperhitungkan dalam lingkaran elite kekuasaan, termasuk dalam penentuan susunan kabinet pemerintahan yang akan datang.

Jokowi juga berkeinginan untuk menjadikan Partai Golkar sebagai benteng perlindungan. Selama sepuluh tahun kepemimpinannya di Indonesia, banyak kebijakan yang diambilnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, sehingga berdampak pada beban anggaran dan berpotensi melanggar hukum. Usahanya untuk mengaitkan Prabowo Subianto dengan putranya, Gibran Rakabuming Raka, merupakan bagian dari strateginya untuk menempatkan pengaruhnya dalam pemerintahan Prabowo jika kelak terpilih.

Golkar memang menarik perhatian. Hingga akhir bulan Februari 2024, hasil penghitungan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa partai ini memperoleh 15,13 persen suara, meningkat sebesar 2,82 persen dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Apabila penghitungan KPU tetap konsisten, Golkar diprediksi akan menjadi pemenang kedua dalam pemilu legislatif 2024, setelah Partai Demokrasi Indonesia (PDIP).

Kelompok Airlangga Hartarto tidak tinggal diam. Airlangga berupaya untuk mencegah terjadinya musyawarah luar biasa sebelum masa jabatan Jokowi berakhir pada bulan Oktober mendatang. Ia juga mendekat kepada Prabowo Subianto, yang menurut hasil penghitungan sementara KPU, memimpin dalam pemilihan presiden 2024.

Keterlibatan Jokowi dalam Partai Golkar diperkirakan akan memengaruhi stabilitas koalisi yang dibangun oleh Prabowo. Bagi Jokowi, penguasaan Golkar dapat dianggap sebagai legitimasi atas "investasi"-nya dalam pemerintahan Prabowo. Terdapat kabar bahwa Jokowi menginginkan agar lima posisi menteri di pemerintahan yang akan datang diisi oleh individu-individu yang merupakan orang kepercayaannya. Tanpa penguasaan atas Golkar, permohonan tersebut berpotensi untuk ditolak oleh Prabowo. Terlebih lagi, jika keberadaan Gibran sebagai wakil presiden dianggap sudah cukup untuk mewakili aspirasi Jokowi, meskipun pada kenyataannya, posisi wakil presiden sering kali hanya berfungsi sebagai cadangan.

Dengan mempertimbangkan fakta dan sejarah panjang Partai Golkar, seharusnya para elit partai ini menentang segala usaha untuk mengakuisisinya. Partai Golkar memang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, namun setelah Oktober 2024, Jokowi tidak akan menjabat sebagai presiden lagi. Ia akan menjadi warga negara biasa yang kebetulan adalah ayah dari wakil presiden. Meskipun kita mungkin tidak sepakat dengan karakter partai yang selalu mengikuti kekuasaan, seharusnya Prabowo Subianto tetap menjadi patron Golkar.

Dalam perspektif jangka panjang, Partai Golkar seharusnya mempertimbangkan untuk menjauh dari kekuasaan. Sebuah partai yang sehat dapat berpartisipasi dalam berbagai koalisi tanpa mengorbankan identitasnya. Namun, Golkar tampaknya tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Para elit partai ini sering kali mengkhianati suara konstituen dengan menjadikan partai sebagai alat untuk kepentingan tertentu.

Karikatur seorang penguasa yang selalu ikut campur


Tuntutan untuk mengadakan musyawarah luar biasa sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi, dengan demikian, menjadi sebuah risiko bagi partai tersebut. Apakah mereka dapat melindungi partai dari intervensi Jokowi, presiden yang akan segera kehilangan kekuasaan, ibarat bebek lumpuh yang berusaha berdiri tegak?

Share this :

Previous
Next Post »