Cara Politik Melawan Kejahatan Pemilu Mahkamah Konstitusi gagal Menegakkan Keadilan menghadapi kecurangan pemilu. Saatnya memakai jalan politik

Agustus 12, 2024


Cara Politik Melawan Kejahatan Pemilu

Seperti dalam kisah Bart Simpson yang nakal di serial televisi "The Simpsons", Pemilihan Umum 2024 telah berakhir dengan penolakan terhadap sejumlah besar bukti kecurangan yang jelas. Mahkamah Konstitusi menolak untuk membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Bukti-bukti yang diajukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD tentang praktik kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif diabaikan oleh lima hakim konstitusi. Tiga hakim memberikan pendapat hukum yang berbeda (dissenting opinion), yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih, yang berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum serius dalam pemilu. Mereka menyoroti penggunaan bantuan sosial untuk kepentingan politik, ketidaknetralan pejabat daerah, hingga mobilisasi aparatur negara untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Dissenting opinion ini, yang pertama kali terjadi dalam putusan sengketa pemilu, menandakan adanya cacat legitimasi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran selama lima tahun ke depan.

Kecurangan yang terjadi sulit dilepaskan dari pengaruh Presiden Joko Widodo, ayah Gibran. Awalnya, ada revisi Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi untuk memungkinkan anaknya yang belum cukup umur menjadi kandidat wakil presiden. Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan adik ipar Jokowi, mempengaruhi para hakim untuk meloloskan keponakannya. Anwar juga telah dinyatakan melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Jokowi juga diketahui terlibat dalam pengerahan lembaga negara dan melakukan manipulasi anggaran untuk melaksanakan politik yang mengutamakan bantuan sosial besar-besaran selama masa kampanye. Para pembela putusan Mahkamah Konstitusi berargumen bahwa penggugat tidak menyediakan cukup bukti untuk mendukung tuntutan mereka, yaitu pemilihan ulang di seluruh Indonesia tanpa kandidat 02 atau tanpa calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka berpendapat bahwa seharusnya penggugat hanya meminta pemilihan ulang di daerah yang dicurigai terjadi kecurangan. Kelompok ini menuduh penggugat tidak mengikuti saran tersebut karena angka kemenangan Prabowo yang sangat tinggi: 58,6 persen. Pemilu ulang di daerah tertentu mungkin mengurangi persentase kemenangan Prabowo, tetapi tidak akan menghalanginya untuk menjadi presiden.

Pandangan ini terasa aneh. Mahkamah seharusnya tidak hanya menghitung dampak kecurangan terhadap perolehan suara. Mahkamah seharusnya mengedepankan prinsip keadilan berdasarkan temuan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sudah lama dikritik bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lebih dari sekadar kalkulator hukum. Keputusan telah diambil dan bersifat final: putusan MK mengikat. Apa yang rusak oleh politik tidak dapat diperbaiki oleh hukum, menurut filsuf Slovenia, Slavoj Zizek. Kini, langkah politik harus diambil. Idealnya, pihak yang kalah seharusnya menjadi oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, ini bukanlah harapan yang realistis. Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan kemungkinan besar akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo. Partai Keadilan Sejahtera mungkin akan mengikuti.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai pemenang pemilu legislatif, meskipun belum bersikap secara terbuka, diam-diam membuka komunikasi dengan Prabowo melalui elit partainya. Sejauh ini, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak memiliki hambatan psikologis untuk berkomunikasi dengan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Namun, Megawati memiliki masalah dengan Jokowi, kader PDIP yang dianggapnya berkhianat. Jika Prabowo berharap PDIP bergabung, Megawati mungkin akan mengajukan syarat: Prabowo Subianto harus membatasi, jika tidak menghapus sama sekali, peran Jokowi dalam pemerintahan mendatang. Tanpa akses ke partai politik manapun, Jokowi pada akhirnya hanya akan menjadi warga biasa. Sementara itu, Gibran akan "dikunci" di istana sebagai wakil presiden, posisi yang sebenarnya hanya sebagai cadangan.

Politik memang bukan jalan menuju kesempurnaan. Namun, keseimbangan baru setidaknya akan menghukum pelaku kekacauan: Joko "Bart Simpson" Widodo.


Share this :

First