Dagang Sapi Politik Indonesia

Agustus 16, 2024 Add Comment
Dagang Sapi Politik Indonesia

 
Partai pendukung Presiden terpilih Prabowo Subiato berebut kursi Menteri. Ingin PDIP bergabung dalam koalisi.

Tiap lima tahun, politik dagang sapi berulang terjadi di Indonesia. Praktik tawar-menawar kursi kabinet itu terjadi antara partai politik dan calon presiden yang dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum. Partai meminta jatah berdasarkan tetes keringat yang mereka jatuhkan untuk memenangkan si kandidat. Partai nonkoalisi ditawari jabatan agar “jinak” di badan legislatif kelak.

KPU menyatakan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang dalam pemilihan presiden 2024 dengan suara mayoritas 58,6 persen. Prabowo kemudian sibuk menjadi blantik—istilah Jawa untuk menyebut makelar perdagangan ternak. Presiden Joko Widodo, yang diakui Prabowo berjasa meroketkan perolehan suaranya, menitipkan lima nama calon menteri. Partai Golkar, peraih kursi Dewan Perwakilan Rakyat paling banyak nomor dua, meminta lima kursi. Partai Demokrat, yang bergabung belakangan, malah menambah permintaan kursi menteri karena merasa paling berjasa memenangkan Prabowo.

Di negara yang mengusung sistem presidensial, presiden punya kekuasaan mutlak menentukan kabinet. Dalam praktik, prinsip itu tak terlaksana. Presiden cemas kekuasaannya tak langgeng jika dimusuhi partai di Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan, jika koalisi presiden menguasai badan legislatif, kecemasan itu tak surut: presiden menginginkan dukungan mutlak. Ia tak ingin ada oposisi.

Sebagai petugas partai dan presiden yang tak punya darah biru di PDI Perjuangan, sepuluh tahun silam Jokowi menyadari posisi politiknya lemah. Karena itu, ia menciptakan koalisi besar. Kue menteri ia berikan kepada tokoh di luar partai yang menyumbang logistik dalam pemenangan pemilihan presiden. Di DPR, Jokowi mendapat dukungan 80 persen. Politik pun mati karena DPR, meminjam syair Iwan Fals, sekadar nyanyian lagu setuju.

Partai politik—juga kekuatan nonpartai seperti organisasi relawan—berebut menyambut tawaran sang blantik. Partai menjadikan kementerian sebagai sarana menyedot keuntungan lewat kebijakan. Presiden tutup mata terhadap pelbagai penyelewengan, bahkan diam-diam menjadikan kasus hukum sebagai “sandera’ jika ia bersimpang jalan dengan partai koalisi di kemudian hari.

Di luar DPR, Jokowi menekuk lembaga hukum karena mengganggu strategi besarnya mengendalikan politik dan partai politik. Pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi ia lemahkan. Kepolisian dan kejaksaan ia jadikan kekuatan pemukul bagi politikus yang berlagak kritis dan masyarakat sipil yang membangkang. Kekuasaan kehakiman ia kepit. Dalam kendali Jokowi, Mahkamah Konstitusi meloloskan anaknya yang belum cukup umur menjadi calon wakil presiden.

Prabowo Subianto hendaknya memperbaiki fondasi politik yang rusak itu. Keinginannya membangun koalisi besar dengan menggaet PDI Perjuangan, partai pengusung calon presiden Ganjar Pranowo, mesti ia urungkan. Prabowo harus menyediakan ruang oposisi di legislatif agar demokrasi bisa Kembali hidup.

Tangan Jokowi di Partai Golkar

Agustus 12, 2024 Add Comment
Tangan Jokowi di Partai Golkar

 

Jokowi berambisi menguasai Partai Golkar. Cara baru tetap relevan dalam kekuasaan

Ambisi Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, untuk menguasai Partai Golkar mendorong Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum. Tindakan ini dapat dipandang sebagai respons yang mencerminkan kepanikan seorang Presiden yang berada di ambang kehilangan kekuasaan. Dengan dukungan dari Jokowi, Bahlil akan berkompetisi dengan sejumlah kandidat yang juga mencalonkan diri, antara lain Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Jika terpilih, Bahlil berkomitmen untuk memberikan posisi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar kepada Jokowi.

Pada masa Orde Baru, meskipun tidak pernah menjabat sebagai ketua umum, Presiden Soeharto merupakan sosok sentral dalam Partai Golkar. Ia merancang struktur partai tersebut sebagai bagian dari strategi untuk mengendalikan politik kepartaian pasca-Orde Lama. Sebagai ketua dewan pembina, Soeharto memiliki otoritas penuh dalam menetapkan kebijakan partai. Ketua umum dari dua partai lainnya—Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia—ditentukan berdasarkan persetujuan dari pemerintah.

Pada tahun 2004, ketika menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla juga terpilih sebagai pemimpin Partai Golkar. Pada masa itu, koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Partai Demokrat yang didirikan oleh Yudhoyono, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menguasai legislatif. Kalla bergabung dengan Golkar dengan tujuan untuk "mengamankan" kebijakan-kebijakan pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat.

Kalla telah menjadi kader Partai Golkar selama bertahun-tahun. Di sisi lain, Jokowi tidak memiliki latar belakang yang panjang di partai ini. Oleh karena itu, upayanya untuk menguasai Golkar menjelang akhir masa jabatannya dilakukan semata-mata agar ia tetap diperhitungkan dalam lingkaran elite kekuasaan, termasuk dalam penentuan susunan kabinet pemerintahan yang akan datang.

Jokowi juga berkeinginan untuk menjadikan Partai Golkar sebagai benteng perlindungan. Selama sepuluh tahun kepemimpinannya di Indonesia, banyak kebijakan yang diambilnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, sehingga berdampak pada beban anggaran dan berpotensi melanggar hukum. Usahanya untuk mengaitkan Prabowo Subianto dengan putranya, Gibran Rakabuming Raka, merupakan bagian dari strateginya untuk menempatkan pengaruhnya dalam pemerintahan Prabowo jika kelak terpilih.

Golkar memang menarik perhatian. Hingga akhir bulan Februari 2024, hasil penghitungan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa partai ini memperoleh 15,13 persen suara, meningkat sebesar 2,82 persen dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Apabila penghitungan KPU tetap konsisten, Golkar diprediksi akan menjadi pemenang kedua dalam pemilu legislatif 2024, setelah Partai Demokrasi Indonesia (PDIP).

Kelompok Airlangga Hartarto tidak tinggal diam. Airlangga berupaya untuk mencegah terjadinya musyawarah luar biasa sebelum masa jabatan Jokowi berakhir pada bulan Oktober mendatang. Ia juga mendekat kepada Prabowo Subianto, yang menurut hasil penghitungan sementara KPU, memimpin dalam pemilihan presiden 2024.

Keterlibatan Jokowi dalam Partai Golkar diperkirakan akan memengaruhi stabilitas koalisi yang dibangun oleh Prabowo. Bagi Jokowi, penguasaan Golkar dapat dianggap sebagai legitimasi atas "investasi"-nya dalam pemerintahan Prabowo. Terdapat kabar bahwa Jokowi menginginkan agar lima posisi menteri di pemerintahan yang akan datang diisi oleh individu-individu yang merupakan orang kepercayaannya. Tanpa penguasaan atas Golkar, permohonan tersebut berpotensi untuk ditolak oleh Prabowo. Terlebih lagi, jika keberadaan Gibran sebagai wakil presiden dianggap sudah cukup untuk mewakili aspirasi Jokowi, meskipun pada kenyataannya, posisi wakil presiden sering kali hanya berfungsi sebagai cadangan.

Dengan mempertimbangkan fakta dan sejarah panjang Partai Golkar, seharusnya para elit partai ini menentang segala usaha untuk mengakuisisinya. Partai Golkar memang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, namun setelah Oktober 2024, Jokowi tidak akan menjabat sebagai presiden lagi. Ia akan menjadi warga negara biasa yang kebetulan adalah ayah dari wakil presiden. Meskipun kita mungkin tidak sepakat dengan karakter partai yang selalu mengikuti kekuasaan, seharusnya Prabowo Subianto tetap menjadi patron Golkar.

Dalam perspektif jangka panjang, Partai Golkar seharusnya mempertimbangkan untuk menjauh dari kekuasaan. Sebuah partai yang sehat dapat berpartisipasi dalam berbagai koalisi tanpa mengorbankan identitasnya. Namun, Golkar tampaknya tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Para elit partai ini sering kali mengkhianati suara konstituen dengan menjadikan partai sebagai alat untuk kepentingan tertentu.

Karikatur seorang penguasa yang selalu ikut campur


Tuntutan untuk mengadakan musyawarah luar biasa sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi, dengan demikian, menjadi sebuah risiko bagi partai tersebut. Apakah mereka dapat melindungi partai dari intervensi Jokowi, presiden yang akan segera kehilangan kekuasaan, ibarat bebek lumpuh yang berusaha berdiri tegak?

Cara Politik Melawan Kejahatan Pemilu Mahkamah Konstitusi gagal Menegakkan Keadilan menghadapi kecurangan pemilu. Saatnya memakai jalan politik

Agustus 12, 2024 Add Comment
Cara Politik Melawan Kejahatan Pemilu Mahkamah Konstitusi gagal Menegakkan Keadilan menghadapi kecurangan pemilu. Saatnya memakai jalan politik


Cara Politik Melawan Kejahatan Pemilu

Seperti dalam kisah Bart Simpson yang nakal di serial televisi "The Simpsons", Pemilihan Umum 2024 telah berakhir dengan penolakan terhadap sejumlah besar bukti kecurangan yang jelas. Mahkamah Konstitusi menolak untuk membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Bukti-bukti yang diajukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD tentang praktik kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif diabaikan oleh lima hakim konstitusi. Tiga hakim memberikan pendapat hukum yang berbeda (dissenting opinion), yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih, yang berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum serius dalam pemilu. Mereka menyoroti penggunaan bantuan sosial untuk kepentingan politik, ketidaknetralan pejabat daerah, hingga mobilisasi aparatur negara untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Dissenting opinion ini, yang pertama kali terjadi dalam putusan sengketa pemilu, menandakan adanya cacat legitimasi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran selama lima tahun ke depan.

Kecurangan yang terjadi sulit dilepaskan dari pengaruh Presiden Joko Widodo, ayah Gibran. Awalnya, ada revisi Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi untuk memungkinkan anaknya yang belum cukup umur menjadi kandidat wakil presiden. Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan adik ipar Jokowi, mempengaruhi para hakim untuk meloloskan keponakannya. Anwar juga telah dinyatakan melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Jokowi juga diketahui terlibat dalam pengerahan lembaga negara dan melakukan manipulasi anggaran untuk melaksanakan politik yang mengutamakan bantuan sosial besar-besaran selama masa kampanye. Para pembela putusan Mahkamah Konstitusi berargumen bahwa penggugat tidak menyediakan cukup bukti untuk mendukung tuntutan mereka, yaitu pemilihan ulang di seluruh Indonesia tanpa kandidat 02 atau tanpa calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka. Mereka berpendapat bahwa seharusnya penggugat hanya meminta pemilihan ulang di daerah yang dicurigai terjadi kecurangan. Kelompok ini menuduh penggugat tidak mengikuti saran tersebut karena angka kemenangan Prabowo yang sangat tinggi: 58,6 persen. Pemilu ulang di daerah tertentu mungkin mengurangi persentase kemenangan Prabowo, tetapi tidak akan menghalanginya untuk menjadi presiden.

Pandangan ini terasa aneh. Mahkamah seharusnya tidak hanya menghitung dampak kecurangan terhadap perolehan suara. Mahkamah seharusnya mengedepankan prinsip keadilan berdasarkan temuan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sudah lama dikritik bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lebih dari sekadar kalkulator hukum. Keputusan telah diambil dan bersifat final: putusan MK mengikat. Apa yang rusak oleh politik tidak dapat diperbaiki oleh hukum, menurut filsuf Slovenia, Slavoj Zizek. Kini, langkah politik harus diambil. Idealnya, pihak yang kalah seharusnya menjadi oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, ini bukanlah harapan yang realistis. Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan kemungkinan besar akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo. Partai Keadilan Sejahtera mungkin akan mengikuti.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai pemenang pemilu legislatif, meskipun belum bersikap secara terbuka, diam-diam membuka komunikasi dengan Prabowo melalui elit partainya. Sejauh ini, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak memiliki hambatan psikologis untuk berkomunikasi dengan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Namun, Megawati memiliki masalah dengan Jokowi, kader PDIP yang dianggapnya berkhianat. Jika Prabowo berharap PDIP bergabung, Megawati mungkin akan mengajukan syarat: Prabowo Subianto harus membatasi, jika tidak menghapus sama sekali, peran Jokowi dalam pemerintahan mendatang. Tanpa akses ke partai politik manapun, Jokowi pada akhirnya hanya akan menjadi warga biasa. Sementara itu, Gibran akan "dikunci" di istana sebagai wakil presiden, posisi yang sebenarnya hanya sebagai cadangan.

Politik memang bukan jalan menuju kesempurnaan. Namun, keseimbangan baru setidaknya akan menghukum pelaku kekacauan: Joko "Bart Simpson" Widodo.