![]() |
Partai pendukung Presiden terpilih Prabowo Subiato berebut kursi Menteri. Ingin PDIP bergabung dalam koalisi. |
Tiap lima tahun, politik dagang sapi berulang terjadi di Indonesia. Praktik tawar-menawar kursi kabinet itu terjadi antara partai politik dan calon presiden yang dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum. Partai meminta jatah berdasarkan tetes keringat yang mereka jatuhkan untuk memenangkan si kandidat. Partai nonkoalisi ditawari jabatan agar “jinak” di badan legislatif kelak.
KPU menyatakan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang dalam pemilihan presiden 2024 dengan suara mayoritas 58,6 persen. Prabowo kemudian sibuk menjadi blantik—istilah Jawa untuk menyebut makelar perdagangan ternak. Presiden Joko Widodo, yang diakui Prabowo berjasa meroketkan perolehan suaranya, menitipkan lima nama calon menteri. Partai Golkar, peraih kursi Dewan Perwakilan Rakyat paling banyak nomor dua, meminta lima kursi. Partai Demokrat, yang bergabung belakangan, malah menambah permintaan kursi menteri karena merasa paling berjasa memenangkan Prabowo.
Di negara yang mengusung sistem presidensial, presiden punya kekuasaan mutlak menentukan kabinet. Dalam praktik, prinsip itu tak terlaksana. Presiden cemas kekuasaannya tak langgeng jika dimusuhi partai di Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan, jika koalisi presiden menguasai badan legislatif, kecemasan itu tak surut: presiden menginginkan dukungan mutlak. Ia tak ingin ada oposisi.
Sebagai petugas partai dan presiden yang tak punya darah biru di PDI Perjuangan, sepuluh tahun silam Jokowi menyadari posisi politiknya lemah. Karena itu, ia menciptakan koalisi besar. Kue menteri ia berikan kepada tokoh di luar partai yang menyumbang logistik dalam pemenangan pemilihan presiden. Di DPR, Jokowi mendapat dukungan 80 persen. Politik pun mati karena DPR, meminjam syair Iwan Fals, sekadar nyanyian lagu setuju.
Partai politik—juga kekuatan nonpartai seperti organisasi relawan—berebut menyambut tawaran sang blantik. Partai menjadikan kementerian sebagai sarana menyedot keuntungan lewat kebijakan. Presiden tutup mata terhadap pelbagai penyelewengan, bahkan diam-diam menjadikan kasus hukum sebagai “sandera’ jika ia bersimpang jalan dengan partai koalisi di kemudian hari.
Di luar DPR, Jokowi menekuk lembaga hukum karena mengganggu strategi besarnya mengendalikan politik dan partai politik. Pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi ia lemahkan. Kepolisian dan kejaksaan ia jadikan kekuatan pemukul bagi politikus yang berlagak kritis dan masyarakat sipil yang membangkang. Kekuasaan kehakiman ia kepit. Dalam kendali Jokowi, Mahkamah Konstitusi meloloskan anaknya yang belum cukup umur menjadi calon wakil presiden.
Prabowo Subianto hendaknya memperbaiki fondasi politik yang rusak itu. Keinginannya membangun koalisi besar dengan menggaet PDI Perjuangan, partai pengusung calon presiden Ganjar Pranowo, mesti ia urungkan. Prabowo harus menyediakan ruang oposisi di legislatif agar demokrasi bisa Kembali hidup.